1. DNA terletak Secara Jelas pada Kromosom
Selama bertahun-tahun, diharapkan dengan membaiknya mikroskop dapat memungkinkan untuk melihat gen yang tampak berdampingan bersama kromosom. Tetapi bahkan dengan hadirnya mikroskop elektron pertama pada awal 1940-an, yang memiliki pembesaran (resolusi) 100 kali lebih besar dari mikroskop cahaya, ternyata mengecewakan. Gambar kromosom pada mikroskop elektron pertama tidak dapat menunjukkan bagian-bagian pada tingkat molekul, sehingga struktur gen yang tidak teratur ini sulit untuk ditafsirkan. Upaya yang dapat dilakukan adalah memurnikan kromosom yang jauh dari unsur pokok lainnya agar lebih jelas, walaupun sulit untuk mendapatkan kromosom yang benar-benar murni.
Dua komponen utama kromosom yang hampir selalu dijumpai yaitu asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleatic acid (DNA), dan suatu kelas protein kecil yang bermuatan positif, dikenal sebagai histon ; zat-zat ini bersifat basa, sehingga menetralkan keasaman DNA. Telah diketahui bahwa DNA merupakan bagian terbesar dari nukeus (karena itu namanya asam nukleat) sejak ditemukan pada tahun 1869 oleh ilmuan Swiss, Frederick Miescher. Pada tahun 1920-an, dengan pewarna ungu DNA yang khas, dikembangkan oleh ahli kimia Jerman, Robert Feulgen, DNA ditemukan terletak secara jelas pada kromosom. Karena itu, DNA merupakan lokasi yang diharapkan bagi suatu bahan genetik. Sebaliknya, histon tampaknya dapat dikesampingkan sebagai komponen genetik karena histon tidak terdapat pada banyak sperma, namun histon mengandung protein-protein basa yang bahkan lebih kecil lagi, yaitu protamin. Tetapi kebanyakan ahli biokimia tidak mempunyai kecenderungan untuk memusatkan perhatian pada DNA. Mereka mengira bahwa DNA itu hampir tidak spesifik seperti protein, yang mereka ketahui dapat dibuat dalam jumlah tak terbatas, yaitu dengan memadukan 20 asam amino dalam rantai pada berbagai urutan. Secara luas timbul dugaan bahwa sebuah protein tertentu, berupa komponen kecil dari kromosom yang belum begitu digolongkan dengan baik, dapat ditemukan sebagai bahan genetik yang sebenarnya.
2. Sel mengandung RNA maupun DNA
Pada akhir abad kesembilan belas telah ditemukan bahwa sel mempunyai jenis kedua pada suatu asam nukleat, yang sekarang kita sebut asam ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA). Berbeda dengan DNA yang secara jelas terletak pada kromosom, RNA ditemukan dalam sitoplasma maupun dalam nukleus. Di dalam nukleus, RNA terdapat sebagai beberapa butiran padat atau nukleoli yang melekat pada kromosom.
Baik DNA maupun RNA menyerupai protein, karena mereka terbuat dari banyak unsur pembangun sangat kecil yang tersambung dari ujung yang satu ke ujung berikutnya. Akan tetapi, nukleotida, yaitu unsur pembangun asam nukleat, lebih kompleks daripada asam amino manapun. Setiap nukleotida mengandung satu gugusan fosfat, separuh gula, dan sebuah basa purin atau pirimidin, yaitu molekul-molekul berbentuk cincin pipih yang mengandung karbon dan nitrogen. Jika nukleotida-nukleotida itu tersambung dalam jumlah besar, disebut polinukleotida. (lihat gambar 1).
|
Gambar 1 Basa-basa pada asam nukleat. Terdiri dari basa Purin dan Pirimidin. Pada basa Purin terdapat Adenin dan Guanin, sedangkan basa Pirimidin terdapat Sitosin, Timin, dan Urasil
|
Selanjutnya telah diketahui bahwa komponen gula pada RNA ternyata berbeda dengan komponen gula DNA. Namun pada tahun 1920-an, karya Phoebus Levine dari Institut Rockfelller, mengungkapkan bahwa gula DNA adalah deoksiribosa, karena itu namanya asam deoksiribonukleat. Dua Purin dan dua Pirimidin ditemukan, baik pada DNA maupun RNA. Kedua Purin, Adenin dan Guanin, digunakan baik dalam DNA maupun RNA ; Pirimidin Sitosin ditemukan pula pada DNA dan RNA. Akan tetapi Pirimidin Timin hanya ditemukan pada DNA, sedangkan Pirimidin Urasil yang secara struktual serupa, tampak pada RNA.
Baik pada DNA maupun RNA, nukleotida-nukleotidanya saling terpaut untuk membentuk Polinukleotida yang sangat panjang. Pautannya terdiri dari ikatan-ikatan kimia yang berturut-turut dari gugusan fosfat nukleotida yang satu ke gugusan deoksiribosa (atau ribosa) dari nukleotida yang berdekatan. Tiap residu pada deoksiribosa (ribosa) mengandung beberapa atom dimana gugusan fosfat dapat mengikatkan diri, dan terdapat banyak kesulitan untuk mengidentifikasi atom-atom mana yang tepat yang dihubungkan oleh gugusan-gugusan fosfat tersebut. (lihat gambar 2)
|
Gambar 2 Sebuah nukleotida DNA. Basa terikat pada suatu cincin deoksiribosa yang pada gilirannya terikat pada suatu gugusan fosfat. Pada molukul DNA, nukleotida-nukleotida itu saling tersambung membentuk rantai-rantai panjang oleh berbagai ikatan yang berturut-turut dari gugusan fosfat pada satu nukleotida ke gugusan deoksiribosa dari nukleotida yang berdekatan. Basa yang tampak disini, guanin, dapat diganti oleh salah satu dari tiga basa DNA, yaitu adenin, sitosin, atau timin. |
Pertanyaan lain yang tetap tak terjawab dalam waktu lama adalah bagaimana empat nukleotida yang berbeda itu tersusun sepanjang molekul DNA (atau RNA). Tidak ada metode yang dapat memperkirakan jumlah yang tepat dari empat nukleotida di dalam DNA atau RNA, dan pada akhir tahun 1940-an kemungkinan tidak dapat dipungkiri bahwa DNA dan RNA memiliki struktur berulang yang teratur dimana setiap basa diulang untuk setiap empat nukleotida sepanjang rantai polinukleotidanya. Akan tetapi, yang lebih menarik adalah ada kemungkinan lain bahwa sejumlah besar molekul DNA dan RNA yang berbeda-beda, masing-masing mempunyai urutan basa yang spesifik sendiri yang tak teratur. Jika ini merupakan cara molekul-molekul itu tersusun, maka DNA dan RNA telah mengkode melalui urutan basa yang beraneka ragam itu, sejumlah besar informasi yang diperlukan untuk menyusun jumlah urutan asam amino sangat besar yang terdapat dalam protein-protein dari dunia kehidupan ini.
3. Telah Ditemukan Pengujian Biologis Terhadap Molekul-Molekul Genetik
Sekarang kita menyadari bahwa DNA, yang pada masa lalu kurang mendapat perhatian yang serius, ternyata harus mendapatkan perhatian serius karena melalui pengujian biologis, kita mengetahui kemampuannya untuk mengubah hereditas bakteri tertentu. Pengembangan pengujian ini sama sekali tidak terencana, namun lahir pada tahun 1928 dari penelitian seorang ahli mikrobiologi Inggris. Fred Griffith, mengenai Patogenisitas (kemampuan untuk menimbulkan penyakit) dari bakteri Diplococcus pneumoniae yang menyebabkan Pneumonia. Griffith melakukan pengamatan yang tak terduga bahwa sel-sel patogen atau sel yang dapat menimbulkan penyakit (sel ini dapat dimatikan dengan panas) dicampur dengan sel-sel hidup yang tidak patogen, maka sel-sel yang tidak patogen itu akan menjadi sel patogen, walaupun dalam presentase yang kecil. Proses untuk menjadi patogen ini, sel yang tidak virulen (tidak diinfeksi virus yang dapat menimbulkan penyakit) itu memperoleh dinding sel terluar yang tebal, kaya akan polisakarida, disebut kapsula, yang dengan cara tertentu dapat memindahlan patogenisitas pada sel-sel yang memilikinya. Griffith ternyata telah menemukan adanya suatu zat aktif yang tidak rusak bila sel-sel patogen diberi panas yang dapat mematikan sel, lalu menyebar ke dalam sel-sel yang tidak patogen dan mengatur mereka untuk membuat kapsula.
Sebenarnya, Griffith sendiri pun tidak serius untuk mengidentifikasi zat aktif tersebut. Tugas ini diambil oleh oleh Oswald Avery yang menyelidiki sifat kimiawi dari kapsul-kapsul terluar bakteri di Institut Rockfeller, New York. Ketika ia mulai bekerja pada transforming factor atau faktor pengubah, Avery mengira bahwa zat aktif itu kemungkinan berupa suatu polisakarida kompleks yang dengan cara tertentu merangsang sintesis lebih banyak polisakarida lagi yang sejenis. Sebagai langkah pertama, ia menunjukan bahwa faktor aktif itu dapat diekstraksi dari sel-sel yang dimatikan dengan panah setelah sel-sel ini dipecah, yang merupakan suatu syarat yang diperlukan untuk mengisolasi faktor tersebut dari molekul yang lain. Selama satu dekade, dilakukan penelitian secara intensif oleh Avery, McCarty, dan Colin Macleod, disimpulkan bahwa faktor pengubah tersebut adalah suatu molekul DNA. DNA ini bukan hanya molekul yang paling murni tadi, tetapi keaktifan zat pemgubah ini dihancurkan oleh preparat DNAse yang sangat tinggi kemurniannya, atau enzim yang pada saat itu baru saja ditemukan, khusus untuk merombak DNA. Sebaliknya, aktivits faktor penyebab itu tidak terpengaruh oleh enzim yang mengurai protein atau enzim-enzim yang dapat menguraikan RNA.
Berbagai eksperimen Avery tahun 1944, berkesimpulan bahwa DNA merupakan faktor pengubah, sehingga sebagian besar para ilmuan tidak dapat membantah hal tersebut. Tetapi, beberapa orang yang skeptis percaya bahwa Avery dan kedua rekannya tidak berhasil melihat genetic protein atau protein genetik dan DNA yang dipakai sebagai zat aktif dalam pengujian mereka hanya karena zat itu berfungsi sebagai perancah tidak khas, dimana gen-gen protein yang sesungguhnya ditempatkan. Tetapi, setelah direnungkan, sepertinya penunjukkan DNA ini seharusnya bukan merupakan hal yang tak terduga. Pada saat percobaan Avery dilakukan, DNA dikenal sebagai molekul sangat besar yang mengandung ratusan nukleotida. Jika urutan empat nukleotida utama ditemukan tak teratur, maka jumlah urutan berbagai DNA yang mungkin terjadi akan mencapai jumlah tak terduga sebesar 4^n [baca: 4 pangkat n], n adalah jumlah nukleotida dalam rantai.
Masalah yang masih dipertanyakan adalah sifat generalisasi dari pengamatan Avery. Apakah semua gen itu dibuat dari DNA, atau ada molekul-molekul genetik lain yang berperan pada situasi lain? Jelaslah bahwa masalah itu segera terpecahkan jika ternyata mungkin untuk mengubah hereditas dari bentuk hidup lainnya melalui penambahan molekul-molekul DNA tertentu. Tetapi pada saat itu belum ada jalan untuk memisahkan molekul-molekul DNA tanpa merusaknya dari tumbuhan atau hewan, dan tidak mungkin untuk mentransferkannya ke individu lain. Suatu kelompok di Perancis menyebutkan bahwa mereka mampu menggunakan DNA untuk mengubah bulu-bulu itik yang telah tumbuh dari telur, dimana DNA telah diinjeksikan. Akan tetapi, telur-telur ini diperoleh dari sebuah pasar pedesaan setempat sehingga tidak jelas nenek moyangnya. Hasilnya, tidak ada satupun yang mempelajari lebih lanjut mengenai transduksi atau perpindahan keturunan.[]
Judul Asli:
DNA is the Primary Genetic Material
Sub-judul Asli:
1. DNA is Sited on Chromosomes
2. Cells Contain RNA as well as DNA
3. A Biological Assay for Genetic Molecules is Discovered
Diterjemahkan dari:
Watson,J.D.1992.Recombinant DNA Second Edition:W.H Freeman and Company,New York